BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa terdiri atas beberapa tataran
gramatikal antara lain kata, frase, klausa, dan kalimat. Kata merupakan tataran
terendah & kalimat merupakan tataran tertinggi. Ketika Anda menulis, kata
merupakan kunci utama dalam upaya membentuk tulisan. Oleh karena itu, sejumlah
kata dalam Bahasa Indonesia harus dipahami dengan baik, agar ide dan pesan
seseorang dapat mudah dimengerti. Dengan demikian, kata-kata yang digunakan
untuk berkomunikasi harus dipahami dalam konteks alinea dan wacana. Kata
sebagai unsur bahasa, tidak dapat dipergunakan dengan sewenang-wenang. Akan
tetapi, kata-kata tersebut harus digunakan dengan mengikuti kaidah-kaidah yang
benar.
Menulis merupakan kegiatan yang
mampu menghasilkan ide-ide dalam bentuk tulisan secara terus-menerus &
teratur (produktif) serta mampu mengungkapkan gambaran, maksud, gagasan,
perasaan (ekspresif). Oleh karena itu, ketrampilan menulis / mengarang
membutuhkan grafologi, struktur bahasa, & kosa kata. Salah satu unsur
penting dalam mengarang adalah penguasaan kosa kata. Kosa kata merupakan bagian
dari diksi. Ketepatan diksi dalam suatu karangan merupakan hal yang tidak dapat
diabaikan karena ketidaktepatan penggunaan
diksi pasti akan menimbulkan ketidakjelasan makna.
Diksi dapat diartikan sebagai
pilihan kata pengarang untuk menggambarkan “cerita” mereka. Diksi bukan hanya
berarti pilih-memilih kata. Istilah ini bukan saja digunakan untuk menyatakan
gagasan / menceritakan suatu peristiwa tetapi juga meliputi persoalan gaya bahasa,
ungkapan-ungkapan.
B. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai
berikut :
1.
Pengertian diksi atau pilihan kata dalam Bahasa Indonesia
2.
Pembentukan kata atau istilah
C. Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan
untuk mengetahui arti diksi atau pilihan kata dalam Bahasa Indonesia.
Dan menghasilkan tulisan yang indah dan enak di baca. sehingga makna
dengan tepat pada setiap pilihan kata yang ingin disampaikan.
D. Manfaat
Adapun manfaat dari dibuatnya makalah ini adalah sebagai
berikut :
1.
Mahasiswa dapat mengetahui pilihan kata yang baik dalam
pengolahan kata.
2.
Menguasai berbagai macam kosakata dan mampu memanfaatkan
kata-kata tersebut menjadi sebuah kalimat yang jelas, efektif dan mudah
dimengerti
3.
Ketepatan dalam pemilihan kata dalam menyampaikan suatu
gagasan.
BAB II
ISI
A. Pengertian
Diksi
Diksi menurut KBBI adalah pilihan kata yang
tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga
diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan)
Pengertian pilihan kata atau diksi
jauh lebih luas dari apa yang dipantulkan oleh jalinan kata-kata itu. Istilah
ini bukan hanya dipergunakan untuk menyatakan kata-kata mana yang dipakai untuk
mengungkapkan suatu ide atau gagasan. Tetapi juga meliputi persoalan fraseologi,
gaya bahasa dan ungkapan. Fraseologi mencakup persoalan kata dalam
pengelompokan atau susunannya, atau yang menyangkut cara-cara yang khusus
berbentuk ungkapan-ungkapan. Gaya bahasa sebagai bagian dari diksi bertalian
dengan ungkapan-ungkapan yang indifidual atau yang memiliki nilai artistik yang
tinggi.
Pilihan kata tidak hanya
mempersoalkan ketepatan pemakaian kata, tetapi juga mempersoalkan apakah kata
yang dipilih itu dapat juga diterima atau tidak merusak suasana yang ada.
Sebuah kata yang tepat untuk menyatakan suatu maksud tertentu, belum tentu
dapat diterima oleh para hadirin atau orang yang diajak bicara. Masyarakat yang
diikat oleh beberapa norma, menghendaki pula agar setiap kata yang dipergunakan
harus cocok atau serasi dengan norma norma masyarakat, harus sesuai dengan
situasi yang dihadapi. (Keraf, 2009)
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan ;
·
Pertama, diksi mencakup
kata – kata yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, cara menggabungkan
kata – kata yang tepat dan dan gaya yang paling baik. Digunakan dalam situasi
tertentu.
·
Kedua, diksi adalah kemampuan secara tepat membedakan nuansa
– nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk
menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki
kelompok masyarakat pendengar atau pembaca.
·
Ketiga, diksi yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh
penguasaan kosakata yang banyak.
B. Makna Kata dan Jenis Diksi
Yang
disebut makna adalah hubungan antara bentuk bahasa dan barang yang diacunya.
Ada macam – macam makna, diantaranya ;
1.
Makna Leksikal
Adalah
makna kata secara lepas, tanpa kaitan dengan kata yang lainnya dalam sebuah
struktur(frasa, klausa, kalimat).
Contoh
:
Para pendaki gunung mandi di sumber air panas di lembah gunung. (mandi=makna
leksikal)
Ayah tidur di shofa empuk yang mahal itu. (tidur=makna
leksikal).
2.
Makna Gramatikal
Adalah
makna baru yang timbul akibat terjadinya proses gramatika (pengimbuhan,
pengulangan, atau pemajemukan)
Contoh
:
(Makanan, Makan-makan, Makan siang) Makna Gramatikal
Menjelang berbuka puasa, warga memberikan makanan pada pengguna jalan.
Menjelang berbuka puasa, warga memberikan makanan pada pengguna jalan.
Kami sekeluarga mengadakan acara makan-makan di resto
ternama di kota Jakarta.
Jam istrirtahat menjadi kesempatan kita untuk makan siang.
(Setiap hari, Hari libur, Hari-hari) Makna gramatikal
Ia mendapat gaji setiap hari ketika pulang kerja.
Hari libur kali ini, kami berlibur ke
Bali.
Tetaplah di sini temani hari-hariku yang sunyi.
3.
Makna Denotatif
Adalah
makna dalam alam wajar secara eksplisit. Makna wajar ini adalah makna yang
sesuai apa adanya. (Arifin, 2009)
Dalam
bentuk murni, makna denotatif dihubungkan dengan bahasa ilmiah. Seorang penulis
hanya ingin menyampaikan informasi kepada kita, dalam hal ini khususnya bidang
ilmiah, akan berkecenderungan untuk menggunakan kata-kata yang denotatif. Sebab
pengarahan yang jelas terhadap fakta yang khusus adalah tujuan utamanya. (Keraf, 2009)
Contoh :
Rumah itu luasnya 250 meter persegi. (Keraf, Diksi dan Gaya
Bahasa, 2009)
Kambing hitam itu terlihat sangat gagah ketika sedang berdiri
Keterangan
:
Pada
contoh diatas semuanya mengandung makna denotatif, karena semua kata diatas
tidak mengandung makna atau perasaan tambahan.
4.
Makna Konotatif
Konotasi atau makna konotatif disebut juga
dengan makna konotasional, makna emotif, atau makna evaluatif. Maka konotatif
adalah suatu jenis makna dimana stimulus dan respons mengandung nilai nilai
emosional. Makna konotatif sebagian terjadi Krena pembicara ingin menimbulkan
perasaan setuju – tidak setuju, senang – tidak senang, (Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, 2009)
Contoh :
Bapak itu hanya dijadikan kambing
hitam oleh atasannya yang ingin mengambil keuntungan. (kambing hitam
artinya orang yang disalahkan
Meluap hadirin yang
mengikuti pertemuan itu (Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa, 2009)
Keterangan :
Semua kata yang bercetak miring diatas
merupakan makna konotatif, karena makna yang ada didalamnya terdapat arti
tambahan jika dikaitkan dengan dengan situasi dan kondisi tertentu.
C.
Persyaratan
Ketetapan Diksi
Ketepatan
adalah kemampuan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan yang sama pada imajinasi
pembaca atau pendengar, seperti yang difikirkan atau dirasakan oleh penulis
atau pembicara. (Keraf, Diksi Dan Gaya
Bahasa, 2009)
Beberapa
butir perhatian dan persoalan berikut hendaknya diperhatikan setiap orang agar
bisa mencapai ketepatan pilihan katanya itu.
- Membedakan secara cermat
denotasi dari konotasi. Dari dua kata yang mempunyai makna yang mirip satu
sama lain, ia harus menetapkan mana yang akan dipergunakannya untuk
mencapai maksudnya. Jika hanya menginginkan pengertian dasar, maka ia
harus memilih kata yang denotatif. Jika ia menghendaki reaksi emosional,
ia harus memakai kata konotatif.
- Membedakan kata-kata yang cermat kata-kata yang hampir
bersinonim. Kata yang bersinonim tidak selalu mempunyai distribusi yang
saling melengkapi. Oleh sebab itu, penulis atau pembicara harus
berhati-hati dalam memilih kata, sehingga tidak timbul interpretasi yang
berlainan
- Membedakan kata-kata yang mirip dalam ejaannya. Contoh:
Bahwa-bawah-bawa, karton-kartun dan sebagainya.
- Hindarilah kata-kata ciptaan sendiri
- Waspadalah terhadap penggunaan akhiran asing. Contoh :
faforable-faforit, progress-progresif, dan sebagainya.
- Kata kerja yang menggunakan kata depan harus digunakan
secara ideomatis. Contoh : angat akan bukan ingat terhadap, mengharapkan
bukan mengharap akan dan sebagainya.
- Untuk menjamin ketetapan diksi, penulis atau pembicara
harus membedakan kata umum dan kata khusus.
- Mempergunakan kata kata indria yang menunjukkan persepsi
yang khusus.
- Memperhatikan perubahan makna yang terjadi pada
kata-kata yang terkenal.
- Memperhatikan kelangsungan pilihan kata.
D. Kata Umum Dan Kata
Khusus
Kata
khusus
a. Nama Diri
Pada umumnya, kita sepakat
bahwa nama diri adalah istilah yang paling khusus, sehingga menggunakan
kata-kata tersebut tidak akan menimbulkan salah paham. Bahwa nama diri ini
merupakan kata khusus, tidak boleh disamakan dengan kata yang denotatif.
Contoh; seorang yang bernama Mat Bonang yang dilahirkan pada tanggal 17, bulan
7, dan tahun 1997, pada dasarnya hanya memiliki denotasi, dan tidak akan
memiliki konotasi lain selain dari penyebut orang itu.
Tetapi dalam perkembangan waktu, nama diri
dapat juga menimbulan konotasi tertentu. Konotasi ini timbul dari perkembangan
yang dialami orang yang menggunakan nama itu. Contoh; Bagi Ibunya, Ahmad yang
berumur 1 tahun adalah anak yang dimanjakan, sedangkaan pada umur 18 tahun ia
merupakan anak yang banyak menimbulkan duka dan cucuran air mata karena sering
berkenalan dengan petugas keamanan. Disini tampak bawa kata yang paling khusus
itu tetap tidak menimbulkan salah paham dalam pengarahannya, tetapi kata itu
sudah menimbulkan konotasi yang berlainan dalam perkembangan waktu. Jadi, sifat
khusus dapat bersifat denotatif maupun bersifat konotatif. (Keraf, Diksi Dan Gaya
Bahasa, 2009)
b. Daya Sugesti Kata Khusus
Di samping memberi
informasi yang jauh lebih banyak, kata khusus juga memberi sugesti yang jauh
leebih mendalam. (Keraf, Diksi Dan Gaya
Bahasa, 2009)
Perhatikan contoh dibawah ini :
Gelandangan itu bertatih-tatih sepanjang
trotoir itu
Kalimat ini menimbulkan efek yang mendalam.
Walaupun sudah terlalu lazim bagi kota-kota besar, namun kata gelandangan masih
memiliki sugesti yang khusus. Ia bukan saja menyatakan seorang manusia, tetapi
juga menyatakan tentang watak, tampang, dan karakter orang itu.
Kata
Umum
a. Gradasi Kata Umum
Bila kita beralih dari nama
diri kepada kata benda misalnya, maka kesulitan itu akan meningkat. Semakin
umum sebuah kata, semakin sulit pula tercapai titik pertemuan antara penulis
dan pembaca. (Keraf, Diksi Dan Gaya
Bahasa, 2009)
Kata benda sepeti anjing
misalnya akan menimbulkan daya khayal yang berbeda antara penulis dan pembaca.
Kita tidak tahu bagaimana tepatnya pengertian dan cirri-ciri anjing itu.
Mungkin penulis membayangkan anjing dari keturunan herder, sebaliknya pembaca
yang membaca kata anjing itu membayangkan seekor anjing kampong.
Sesungguhnya perbedaan
antara yang khusus dan umum, bagaimanapun juga akan selalu bersifat relatif.
Sebuah istilah atau kata mungkin dianggap khusus bila dipertentangkan dengan
istilah yang lain, tetapi akan dianggap umum bila harus dibandingkan dengan
kata yang lain. Semakin umum sebuah kata, semakin sulit bagi pembaca untuk
mengetahui apa yang dikatakan oleh penulis. (Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa, 2009)
b. Kata-kata Abstrak
Kesulitan yang sama kita hadapi lagi pada
waktu mendengar atau membaca kata-kata yang abstrak dan kata yang menyatakan
generalisasi. Banyak kosakata terbentuk sebagai akibat dari konsep yang tumbuh
dalam pikiran kita, bukan mengacu kepada hal yang kongkret. Seperti pada
kata-kata seperti; kepahlawanan, kebajikan, kebahagiaan, keadilan, dan
sebagainya, akan menimbulkan gagasan yang berlainan pada setiap orang, sesuai
dengan pengalaman dan pengertiannya mengenai kata-kata itu. (Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa, 2009)
Penggunaan
Kata Umum Dan Kata Khusus
Dalam hal ini, kebijaksanaan setiap penulis
memegang peranan yang penting. Ia tidakboleh mempergunakan kata abstrak atau
kata umum lebih banyak dari pada yang diperlukan. Apabila ia harus
mempergunakannya juga, maka ada baiknya ia menyertakan juga contoh-contoh yang
kongkret dan khusus supaya pembaca dapat menciptakan pengalaman-pengalaman
mental, sehingga dapat tercapai titik pertemuan itu. (Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa, 2009)
Pendeknya, pengertian-pengertian yang umum
perlu dapat menjelaskan lebih lanjut, memerlukan lagi pengembangan yang
kongkret dan khusus pula. Semakin besar suatu hal yang dinyatakan melalui suatu
istilah yang umum, makin besar pula keharusan untuk memberikan
perincian-perinciannya. (Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa, 2009)
Kata
Indria
Suatu jenis pengkhususan
dalam memilih kata-kata yang tepat adalah penggunaan istilah yang menyatakan
pengalaman-pengalaman yang dicerap oleh pancaindria, yaitu cerapan indria
penglihatan, peraba, perasa, dan penciuman. Karena kata-kata ini menggambarkan
pengalaman manusia melalui pancaindra secara khusus, maka terjamin pula daya
gunanya. Terutama dalam membuat deskripsi. (Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa, 2009)
Sering kali bahwa hubungan antara suatu indria dengan
indria yang laindirasakan begitu rapat, sehingga kata yang sebenarnya hanya
dikenakan kepada suatu indria dikenakan pula pada indria lainnya. Gejala
semacam ini disebut sinestesia. Contoh: kata merdu seharusnya bertalian dengan
pendengaran, sedangkan kata sedap bertalian dengan perasa. Tetapi sering pula
terjadi bahwa suara yang seharusnya bertalian dengan pendengaran disebut juga
sedap (Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa, 2009) Kata yang sediakala
bertalian dengan perasa kemudian dihubungkan juga dengan penglihatan dan
pendengaran.
Misalnya :
Wajah manis sekali.
Suaranya terdengar manis.
E.
Perubahan
Makna
Tejadinya
Perubahan Makna
Dari waktu ke waktu, makna
kata-kata dapat mengalami perubahan, sehingga akan menimbulkan
kesulitan-kesulitan baru bagi pemakai yang terlalu bersifat konservatif. Oleh
sebab itu, untuk menjaga agar pilihan kata selalu tepat, maka setiap penutur
bahasa harus selalu memperhatikan perubahan-perubahan makna yang terjadi. (Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa, 2009)
Dalam persoalan gaya bahasa
atau lebih khusus dalam persoalan pilihan kata, dasar yang dipakai sebagai
patokan untuk menentukan apakah suatu makna sudah berubah atau tidak adalah
pemakaian makna dengan makna tertentu harus bersifat nasional (masalah tempat)
terkenal, dan sementara berlangsung (masalah waktu). (Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa, 2009)
Komunikasi kreatif
berdampak pada perkembangan diksi, berupa penambahan atau pengurangan kuantitas
maupun kualitasnya. Selain itu bahasa berkembang sesuai dengan kualitas
pemikiran pemakainya. Perkembangan dapat menimbulkan perubahan yang mencakup
perluasan, penyempitan, pembatasan, pengaburan, dan pergeseran makna. (Widjono, 2008)
Contoh
:
Sebelum perang Dunia II kita mengenal kata
“Daulat” dengan arti; 1. bahagia, berkat kebahagiaan, misalnya : Daulat Tuanku;
biasanya dipakai untuk raja-raja atau sultan-sultan. 2. mempunyai kekuasaan
yang tinggi, misalnya penyerahan kedaulatan republik Indonesia. Tetapi selama
revolusi fisik menentang penjajahan belanda, kata daulat dipakai dengan arti
yang agak lain yaitu merebut hak dengan tidak sah, misalnya; Tanah-tanah
perkebunan belanda banyak yang didaulat oleh rakyat. (Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa, 2009)
Macam-macam
Perubahan Makna
1. Perluasan Arti
Yang dimaksud dengan perluasan arti adalah
suatu proses perubahan makna yang dialami sebuah kata yang tadinya mengandung
suatu makna yang khusus, tetapi kemudian meluas sehingga melingkupi sebuah
kelas makna yang lebih umum. (Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa, 2009)
Contoh
: Dahulu,
kata “Bapak” dan “ Saudara” hanya dipakai dalam hubungan biologis, sekarang
semua orang yang lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya desebut bapak, dan
lain-lainnya dengan sudara.
2. Penyempitan Arti
Penyempitan arti sebuah kata adalah sebuah
proses yang dialami sebuah kata damana makna yang lama lebih luas cakupannya
dari makna yang baru. (Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa, 2009)
Contoh :
Kata “sarjana” dulu dipakai untuk menyebutkan semua orang cendikiawan. Sekarang
dipakai untuk gelar universiter.
F.
Pengertian
Gaya Bahasa
Gaya bahasa dikenal dalam
retorika dengan istilah Style. Kata style diturunkan dari kata latin Stilus,
yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan
alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. (Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa, 2009)
Walaupun
kata style berasal dari bahasa latin, orang yunani sudah mengembangkan sendiri
teori-teori mengenai style itu. Ada dua aliran yang terkenal, yaitu :
- Aliran Platonik: memgungkap style sebagai kualitas suatu
ungkapan; menurut mereka ada ungkapan yang memiliki style, dan ada juga
yang tidak memiliki style.
- Aliran Aristoteles: menganggap bahwa gaya adalah suatu
kualitas yang inheren, ada yang ada dalam tiap ungkapan.
Secara
umum, Gaya adalah cara mengungkapkan diri sendiri, baik melalui bahasa, tingkah
laku, berpakaian, dan sebagainya. Gaya bahasa memungkinkan kita dapat menilai
pribadi, watak dan kemampuan seseorang yang mempergunakan bahasa itu. Semakin
baik gaya bahasanya, semakin baik pula penilaian orang terhadapnya. Begitu pula
sebaliknya. Style atau gaya bahasa dapat di batasi sebagai cara mengungkapkan
pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian
penulis (pemakai bahasa). (Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa, 2009)
G.
Sendi
Gaya Bahasa
Kejujuran
Kejujuran dalam bahasa berarti kita mengikuti
aturan-aturan, kaidah-kaidah yang baik dan benar dalam bahasa. Pemakaian kata
yang kabur dan tak terarah, serta penggunaan kalimat yang berbelit-belit adalah
jalan untuk mrngandung ketidakjujuran. Pemakaian bahasa yang berbelit-belit
menandakan bahwa pembicara atau penulis tidak tahu apa yng akan dikatakannya.
Bahasa adalah alat untuk kita bertemu dan bergaul. Oleh sebab itu, ia harus
digunakan pula secara tepat dengan memperhatikan sendi kejujuran. (Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa, 2009)
Sopan-santun
Sopan-santun adalah memberi penghargaan atau
menghormati orang yang diajak bicara, khususnya pendengar atau pembaca. Rasa
hormat dalam gaya bahasa dimanifestasikan melalui kejelasan dan kesingkata. (Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa, 2009)
Adapun kejelasan akan
diukur dalam beberapa butir kaidah berikut, yaitu :
- Kejelasan dalam struktur gramatikal kata dan kalimat.
- Kejelasan dalam korespondensi dengan fakta yang
diungkapkan melalui kata-kata atau kalimat.
- Kejelasan dalam pengaturan ide secara logis.
- Kejelasan dalam penggunaan kiasan dan perbandingan.
Kesingkatan
jauh lebih efektif dari pada jalinan yang berliku-liku. Kesingkatan dapat
dicapai melalui usaha untuk mempergunakan kata-kata secara efesien, meniadakan
penggunaan dua kata atau lebih, yang bersinonim secara longgar, menghindari
tautologi atau mengadakan reperisi yang tidak perlu. Diantara kejelasan dan
kesingkatan sebagai ukuran sopan-santun, syarat kejelasan masih jauh lebih
penting dari pada syarat kesingkatan. (Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa, 2009)
Menarik
Kejujuran, kejelasan, serta
kesingkatan harus merupakan langkah dasar dan langkah awal. Bila gaya bahasa
hanya mengandalkan kedua atau ketiga, kaidah diatas, maka bahasa yang digunakan
masih terasa tawar, tidak menarik. Oleh sebab itu, gaya bahasa harus pula
menarik. Gaya bahasa menarik dapat diukur melalui beberapa komponen sebagai
berikut: variasi, humor yang sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup
(vitalitas), dan penuh daya khayal (imajinasi). (Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa, 2009)
Penggunaan variasi akan
menghindari monotoni, dalam nada struktur, dan pilihan kata. Humor yang sehat
berarti gaya bahasa itu mengandung tenaga untuk menciptakan rasa gembira dan
nikmat. Vitalitas dan daya khayal adalah pembawaan yang berangsur-angsur
dikembangkan melalui pendidikan, latihan dan pengalaman.
H.
Jenis-jenis Gaya Bahasa
Gaya
bahasa dapat ditinjau dari bermacam-macam sudut pandangan. Oleh sebab itu,
sulit diperoleh kata sepakat mengenai suatu pembagian yang bersifat menyeluruh
dan dapat diterima oleh semua pihak. Pandangan-pandangan atau pendapat-pendapat
tentang gaya bahasa sejauh ini sekurang-kurangnya dapat dibedakan, pertama,
dilihat dari segi nonbahasa dan kedua dilihat dari segi bahasa. (Keraf G. , 2009)
Segi
Nonbahasa
Pengikut
Aristoteles menerima style sebagai hasil dari bermacam-macam unsur. Pada
dasarnya style dapat dapat dibagi atas tujuh pokok sebagai berikut:
- Berdasarkan pengarang: Gaya bahasa yang disebut sesuai
dengan nama pengarang dikenal berdasarkan ciri-ciri pengenal yang
digunakan pengarang atau penulis dalam karangannya. Pengarang yang kuat
dapat mempengaruhi orang-orang sejamannya. Contoh: gaya Chairil, gaya
Takdir dan sebagainya.
- Berdasarkan Masa: Gaya bahasa yang didasarkan pada masa
dikenal karena ciri-ciri tertentu yang berlangsung dalam suatu kurun waktu
tertentu. Contoh: gaya lama, gaya klasik, gaya sastra modern dan
sebagainya.
- Berdasarkan Medium: Yang dimaksud dengan medium adalah
bahasa dalam arti alat komunikasi. Tiap bahasa karena struktur dan situasi
sosial pemakainya, dapat memiliki corak tersendiri. Contoh: karangan yang
ditulis dalam bahasa Jerman, gaya bahasanya berbeda dengan yang ditulis
dengan bahasa Jepang, indonesia, Arab dan sebagainya.
- Berdasarkan Subjek: Subjek yang menjadi pokok
pembicaraan dalam sebuah karangan dapat mempengaruhi pula gaya bahasa
sebuah karangan. Contoh yang kita kenal, gaya filsafat,ilmiah (hukum,
teknik, sastra) dan sebagainya.
- Berdasarkan Tempat: Gaya ini mendapat namanya dari
lokasi geografis, karena ciri-ciri kedaerahan mempengaruhi ungkapan atau
ekspresi bahasanya. Contoh: gaya jakarta, gaya jogja, gaya medan dan
sebagainya.
- Berdasarkan Hadirin: Hadirin atau jenis pembaca juga
mempengaruhi gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang. Contoh: adanya
gaya populer yang cocok untuk masyarakat banyak, anak-anak, dewasa dan
sebagainya.
- Bedasarkan Tujuan : Gaya berdasarkan tujuan memperoleh namanya dari
maksud yang ingin disampaikan oleh pengarang. Misal, gaya humoris, gaya
teknis dan sebagainya.
Segi
Bahasa
Dilihat
dari sudut bahasa atau unsur-unsur bahasa yang digunakan, maka gaya bahasa
dapat dibedakan berdasarkan titik tolak unsur bahasa yang dipergunakan, yaitu :
·
Gaya
Bahasa Berdasarkan Pilihan Kata
Berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa mempersoalkan
kata mana yang paling tepat yang sesuai untuk posisi tertentu dalam kalimat,
serta tepat tidaknya penggunaan kata-kata dilihat dari lapisan pemakaian dalam
masyarakat. Dengan kata lain, gaya bahasa ini mempersoalkan ketepatan dan
kesesuaian dalam menghadapi situasi-situasi tertentu. (Keraf G. , Diksi Dan Gaya Bahasa, 2009)
a. Gaya Bahasa Resmi
Gaya bahasa resmi adalah
gaya dalam bentuknya lengkap, gaya yang dipergunakan dalam
kesepakatan-kesepakatan resmi, gaya yang dipergumakan oleh mereka yang
diharapkan mempergunakannya dengan baik dan terpelihara. Contoh: Amanat
kepresidenan, pidato-pidato yang penting, dan sebagainya. (Keraf G. , Diksi Dan Gaya Bahasa, 2009)
b. Gaya Bahasa Tidak Resmi
Gaya bahasa tidak resmi
juga merupakan gaya bahasa yang dipergunakan dalam bahasa standar, khususnya
dalam kesempatan tidak formal atau kurang formal. Gaya ini biasanya
dipergunakan dalam artikel-artikel mingguan, buku-buku pegangan, majalah,
tabloid dan sebagainya. (Keraf G. , Diksi Dan Gaya Bahasa, 2009)
Gaya bahasa resmi dan tidak
resmi dapat dibandingkan sebagai berikut : gaya bahasa resmi dapat diumpamakan
sebagai pakian resmi, pakaian upacara, sedangkan gaya bahasa tidak resmi adalah
bahasa dalam pakaian kemeja, yaitu berpakaian secara baik, konfesional, cermat,
tetapi untuk keperluan sehari-hari, bukan untuk pesta peristiwa resmi. (Keraf G. , Diksi Dan Gaya Bahasa, 2009)
c. Gaya Bahasa Percakapan
Sejalan
dengan kata-kata percakapan, terdapat juga gaya bahasa percakapan itu sendiri.
Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata yang populer atau
kata-kata yang dikenal dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa ini
digunakan ketika bercakap-cakap dengan orang lain, kebiasaan-kebiasaan dan
sebagainya. (Keraf G. , Diksi Dan Gaya Bahasa, 2009)
·
Gaya
Bahasa Berdasarkan Nada
Gaya bahasa berdasarkan nada didasarkan pada
sugesti(ajakan) yang pancarkan dari rangkaian kata-kata yang terdapat dalam
sebuah wacana. Sering kali sugesti ini akan lebih nyata jika diikuti dengan
suara dari pembicara, bila yang dihadapi adalah bahasa lisan. (Keraf G. , Diksi Dan Gaya Bahasa, 2009)
Gaya bahasa dilihat dari sudut nada yang
terkandung dalam sebuah wacana, dibagi atas: gaya sederhana, gaya mulia dan
bertenaga dan gaya menengah.
a.
Gaya
sederhana
Gaya
ini biasanya cocok untuk memberi instruksi, perintah pelajaran, perkuliahan,
dan sebagainya. Gaya ini cocok pula digunakan untuk menyampaikan fakta atau
pembuktian-pembuktian. Untuk mempergunakan gaya ini secara efektif, penulis
harus memiliki kepandaian dan pengetahuan yang cukup. (Keraf G. , Diksi Dan Gaya Bahasa, 2009)
b. Gaya Mulia dan Bertenaga
Sesuai
dengan namanya gaya ini penuh dengan vitalitas dan enersi, dan biasanya
digunakan untuk menggerakkan sesuatu. Menggerakkan sesuatu itu tidak hanya
dengan tenaga ungkapan pembicara tetapi juga mempergunakan nada keagungan dan
kemuliaan. Contoh khutbah tentang kemanusiaan dan keagamaan. (Keraf G. , Diksi Dan
Gaya Bahasa, 2009)
c. Gaya Menengah
Gaya menengah adalah gaya
yang diarahkan kepada usaha untuk menimbulkan suasana senang dan damai, karena
tujuannya untuk menciptakan suatu keadaan yang senang dan damai, maka nada yang
digunakan lemah lembut, penuh kasih sayang dan mengandung humor agar dapat
menghibur pendengar. Contoh Pada kesempatan khusus seperti pesta, pertemuan,
rekreasi dan sebagainya. (Keraf G. , Diksi Dan Gaya Bahasa, 2009)
- Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat
Yang
dimaksud dengan struktur kalimat di sini adalah kalimat bagaimana tempat sebuah
unsur kalimat yang dipentingkan dalam kalimat tersebut. Ada kalimat yang
bersifat periodik, bila bagian yang terpenting atau gagasan yang mendapat
penekanan ditempatkan pada akhir kalimat. Ada kalimat yang bersifat kendur,
yaitu bila bagian kalimat yang mendapat penekanan ditempatkan pada awal
kalimat. Dan jenis yang ketiga adalah kalimat berimbang, yaitu kalimat yang
mengandung dua bagian kalimat atau lebih yang kedudukannya sama tinggi atau
sederajat. Gaya bahasa yang termasuk ke dalam kategori ini, anatara lain:
klimaks, antiklimaks, paralelisme, antitesis, repetisi (epizeuksis, tautotes,
anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, anadiplosis).
- Gaya Bahasa
Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna
Gaya bahasa berdasarkan makna diukur dari langsung tidaknya
makna, yaitu apakah acuan yang dipakai masih mempertahankan makna denotatifnya
atau sudah ada penyimpangan. Bila acuan yang digunakan itu masih mempertahankan
makna dasar, maka bahasa itu masih bersifat polos. Tetapi bila sudah ada
perubahan makna, entah berupa makna konotatif atau sudah menyimpang jauh dari
makna denotatifnya, maka acuan itu dianggap sudah memiliki gaya sebagai yang
dimaksudkan di sini.
Gaya bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna ini biasanya disebut sebagai trope atau figure of speech, yaitu suatu penyimpangan bahasa secara evaluatif atau secara emotif dari bahasa biasa, entah dalam (1) ejaan, (2) pembentukkan kata, (3) konstruksi (kalimat, klausa, frasa), atau (4) aplikasi sebuah istilah, untuk memperoleh kejelasan, penekanan, hiasan, humor, atau sesuatu efek yang lain. Dengan demikian trope atau figure of speech memiliki bemacam-macam fungsi: menjelaskan, memperkuat, menghidupkan obyek mati, menstimulasi asosiasi, menimbulkan gelak tawa, atau untuk hiasan. Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna (trope atau figure of speech) dibagi atas dua kelompok, yaitu:
Gaya bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna ini biasanya disebut sebagai trope atau figure of speech, yaitu suatu penyimpangan bahasa secara evaluatif atau secara emotif dari bahasa biasa, entah dalam (1) ejaan, (2) pembentukkan kata, (3) konstruksi (kalimat, klausa, frasa), atau (4) aplikasi sebuah istilah, untuk memperoleh kejelasan, penekanan, hiasan, humor, atau sesuatu efek yang lain. Dengan demikian trope atau figure of speech memiliki bemacam-macam fungsi: menjelaskan, memperkuat, menghidupkan obyek mati, menstimulasi asosiasi, menimbulkan gelak tawa, atau untuk hiasan. Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna (trope atau figure of speech) dibagi atas dua kelompok, yaitu:
Gaya bahasa retoris, yaitu gaya bahasa yang semata-mata merupakan penyimpangan
dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu. Yang termasuk ke dalam gaya
bahasa ini, antara lain: aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis atau
preterisio, apostrof, asindeton, polisindeton, kiasmus, elipsis, eufemismus,
litotes, histeron proteron, pleonasme, tautologi, perifrasis, prolepsis atau
antisipasi, erotesis atau pertanyaan retoris, silepsis, zeugma, koreksio atau
epanortesis, hiperbol, paradoks, oksimoron.
Gaya bahasa kiasan, yaitu gaya bahasa yang merupakan penyimpangan yang lebih
jauh, khususnya dalam bidang makna, yang termasuk ke dalam gaya bahasa ini,
antara lain: persamaan atau simile, metafora, alegori, parabel, fabel,
personifikasi atau prosopopoeia, alusi, eponim, epitet, sinekdoke, metonimia,
antonomasia, hipalase, ironi, sinisme, sarkasme, satire, inuendo, antifrasis,
pun atau paronomasia.
BAB IIIPENUTUP
A.
Kesimpulan
Diksi atau pilihan kata mencakup pengertian
kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana
membentuk pengelompokan kata kata yang tepat atau menggunakan ungkapan ungkapan
yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi.
Dilihat dari segi umumnya, makna dapat dibagi
menjadi dua yaitu makna konotatif dan makna denotatif. Pilihan kata atau diksi
lebih banyak bertalian dengan pilihan kata yang bersifat konotatif. Makna
konotatif sifatnya lebih professional dan operasional daripada makna denotatif.
Makna denotatif adalah makna yang umum. Dengan kata lain, makna konotatif
adalah makna yang dikaitkan dengan kondisi dan situasi tertentu.
Ketepatan pilihan kata mempersoalkan
kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan yang tepat dalam imajinasi
pembaca atau pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan penulis atau
pembicara, Persoalan pendayagunaan kata pada dasarnya berkisar pada dua
persoalan pokok, yaitu pertama, ketetapan pilihan kata, Kedua, kesesuaian atau
kecocokan dalam mempergunakan kata.
Referensi
(2009). In G. Keraf, Diksi Dan
Gaya Bahasa (p. 24). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
(2009).
In G. Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa (p. 29). Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
(2009).
In G. Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa (p. 28). Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
(2009).
In G. Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa (p. 88). Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
(2009).
In G. Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa (p. 91). Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
(2009).
In G. Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa (p. 92). Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
(2009).
In G. Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa (p. 93). Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
(2009).
In G. Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa (p. 94). Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
(2009).
In G. Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa (p. 95). Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
(2009).
In G. Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa (p. 96). Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
(2009).
In G. Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa (p. 97). Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
(2009).
In G. Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa (p. 112). Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
(2009).
In G. Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa (p. 113). Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
(2009).
In G. Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa (p. 114). Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
(2009).
In G. Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa (p. 115). Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
(2009).
In G. Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa (p. 117). Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
(2009).
In G. Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa (p. 118). Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
(2009).
In G. Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa (p. 120). Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
(2009).
In G. Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa (p. 121). Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
(2009).
In G. Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa (p. 122). Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
(2008).
In Widjono, Bahasa Indonesia (p. 102). Jakarta: Grasindo.