PUPUS (Harapan yang Menyakitkan)

PUPUS (Harapan yang Menyakitkan)

Karya : Untung Farchan Ramadhani

Hati seorang anak bisa rapuh. Hari-hari dalam kehidupan hanya menjadi tontonan drama tidak bermoral. Ocehan sana-sini dari mulutnya, membuat hati ini sakit. Ditambah kaldu sedap dari tangannya, yang membuat lengkap kesakitan ini. Terkadang orang tua tidak mampu mengetahui perasaan anaknya. Dari keegoisan masing-masing yang membuat hati Ian sakit. Ian adalah segelintir anak dari ribuan anak yang mengalami masalah dengan keluarga.
Kejadian ini sudah terjadi cukup lama, tapi luka yang dirasakan masih terasa hingga saat ini. Ian adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Ayah dan ibunya sudah bercerai. kini dia tinggal bersama ibu dan kakak perempuan yang bernama Dinda. Sedangkan adik berada diluar kota bersama nenek. Sebulan sekali mereka berkumpul tanpa adanya kasih sayang dari seorang ayah. Hati memang tidak bisa berbohong, kerinduan akan sosok ayah pasti ada. Sebelum berpisah dengan ayahnya, Ian sempat bercerita banyak tentang keinginannya.
“Yah, besok Ian masuk SMA mana kalau udah lulus SMP?”
“Terserah adik, ayah mendukung keputusan adik.”
“Trus, biaya sekolah dari mana yah?”
“Tak usah pikir biaya sekolah, yang penting adik bisa sekolah.”
“Besok kalau Ian lulus, ayah datang yaa.”
“Iya, pasti.”
*****
Malam itu, tak sengaja Ian mendengar pertingkaian antara ayah dan ibunya. Tak kuasa hati ini. Rasa sakit yang dirasakan ketika ayah berteriak dengan keras kata “Kita cerraaaiii!!!.” Malam itu seketika berubah menjadi malam petaka. Malam yang penuh dengan luapan air mata. Malam yang tak akan pernah hilang dari memori Ian. Kata itu terbenang dan menghantuinya berhari-hari. Yang membuat Ian tidak bisa  tidur. makan terasa hampa, hidup terasa tidak berguna. Terpukul hati ini atas ungkapan ayahnya. “Mengapa ayah tega? apa gunanya bertemu kalau hanya untuk berpisah, apa gunanya cinta kalau hanya menyakiti, apa gunanya anak atas pernikahan ini, apa anak hanya sebuah permainan, kalau sudah bosan lalu dibuang tanpa tanggung jawab?!. haa.!!, adakah orang yang peduli dengan perasaan anaknya!. tidak adaa!!!” gumamnya.
Hari-hari berlalu tanpa adanya kehadiran seorang ayah.  Hingga pada suatu ketika Ian mendengar bahwa ayahnya akan menikah lagi dengan seorang wanita yang jauh lebih muda dari ayahnya. Ayah yang tak pernah memberi kabar. Ayah yang tak pernah menengok anak-anaknya, tak pernah menafkahinya, telepon atau bahkan tanya kabarnya saja tak pernah. Pertama kali memberi kabar setelah cerai dengan ibu tentang pernikahannya.  Sontak membuat hati Ian dan saudaranya sakit bagaikan kaca yang terjatuh dan hancur berkeping-keping.
*****
Suatu malam yang tenang. Dengan hati yang terus berdebar tanpa arah. Langkah kaki berdampingan dengan doa. Ian mencoba untuk datang ke rumah ayahnya. Disana suasana sangat mencengkam. Jantung ini semakin berdeguk kencang. Ia tidak tau kalau kedua pamannya sedang berada disana.
“Yaah, gimana soal uang sekolah Ian? sekarang Ian sudah SMA, katanya ayah mau membiayai Ian sekolah ketika Ian lulus SMP.”
“Astofirulllah, Mat!. itu anak kamu Mat. Kamu ini ayah apaan! tidak tanggung jawab. Jangan mentang-mentang kamu sudah cerai dengan ibunya, kamu tidak menafkai anakmu!” sela Paman Agus.
Sambil mengacungkan pistol tentaranya ke hadapan Ian, paman budi amat marah atas perlakuan ayah yang tidak mau bertanggung jawab. dia pun berkata “ Mat!, jika kamu memang tidak mau menafkai anakmu, kamu bunuh saja anakmu! anak pintar gini malah disia-siakan. Dosa kamu Mat!”
Derai air terus membasahi pipi Ian. tak sanggup menahan amarah, kesal, dan emosi. sempat dalam benaknya, “Apa aku akan mati sekarang? pistol ini dihadapanku. Ayah yang ku kagumi berubah menjadi monster yang mengerikan.” Tiba-tiba dari belakang tubuh Ian, datang istri muda ayahnya. Dan melemparkan uang ke muka Ian sebesar 500ribu. Betapa terhinanya kala itu. Ian pun langsung pergi pulang tanpa sepatah kata apapun. Perjalanan pulang hanya ditemani oleh tetesan air mata yang mengalir dengan derasnya.

Sekarang, anak ini sudah kokoh. Ia tak peduli ayah yang membuangnya. Ian tumbuh menjadi anak yang mandiri tanpa menyusahkan ibu yang sangat ia sayangi. Tak peduli apa yang telah ayahnya lakukan. Ia hanya ingin menambal rasa sakit ibunya, dengan cara membahagiakannya. 

Kategori

Kategori