Hari
minggupun tiba. Dewi dan Nino membantu ibunya didapur. Mereka biasa membantu
mempersiapkan dagangan nasi uduk Ibu Siti. Walaupun mereka masih kecil, dan
butuh perhatian orang tua, tapi mereka sadar bahwa ibunya selalu butuh bantuan
mereka untuk membantu mempersiapkan dagangannya. Toh, nanti hasilnyakan, juga
untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Tapi bukan cuma sekedar membantu
menyiapkan dagangan ibunya, anak sulung bu Siti ini, juga suka membantu
berjualan nasi uduk buatan ibunya. Dewi tidak pernah malu untuk jualan nasi
uduk. Walaupun teman sebayanya sering bermain, bersenang-senang dan selalu
mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya, tapi Dewi tidak pernah iri
dengan mereka. Malah, ia selalu mensyukuri nikmat yang telah ia terima.
Dewi
dan ibunya selalu berjualan nasi uduk kelilingi desa. Kalau dagangannya belum
habis, biasanya bu Siti sering kepasar, dan menawarkan dagangannya kepada
pedagang dan pembeli disana.
Sementara
itu, ketika mereka sedang mempersiapkan dagangan, terdengar suara Pak Tegar
yang memanggil Bu Siti. Sudah ditebak oleh Dewi, kalau kedatangan ayahnya,
hanyalah ingin meminta uang pada ibu. Sudah menjadi kebiasanan Pak Tegar
meminta jatah hasil dagangan istrinya tersebut. Ibu bagaikan budak dimata ayah,
ibu selalu dikendalikan oleh ayah dan selalu mendapatkan perlakuan yang tak
menyenangkan.
“
Sit... siti... “ teriak Pak Tegar dari kejauhan.
“
Ada apa mas.” jawab Bu Siti yang menghampiri Pak Tegar.
“ Sini uangnya, aku butuh uang itu”
“
Ayah ini kenapa, selalu meminta uang dari ibu. Apalagi uangnya itu hanya dibuat
untuk bersenang-senang dengan teman ayah. Ayah mbok sadar, ibu butuh uang itu untuk kebutuhan jualannya. Untuk
modal. Yah, tolong sekali ini saja, ayah hargai kami, hargai ibu.?!” sela Dewi.
“
Betul mas, apa yang dikatakan dewi. Uang ini untuk modal usaha nasi uduk
saya..” sahut Bu Siti.
“
Ya..ya..ya... sekarang, mana uangnya. Saya butuh uang, dan saya gak butuh
diceramain...!!!” bentak Pak Tegar.
“
Ayah jahat, ayah gak sayang sama aku, ayah gak sayang sama kakak dan ibu. Ayah
jahat..” Ninopun ikut berdebat dalam masalah itu. “ Nino, kamu masuk kamar dulu
sana.” sela Dewi. “ Tapi kak,”
“
Sini uangnya..!!!” bentak Pak Tegar. “ jangan mas, jangan”.
“
Halah, minggir kau...!!!” dorong Pak tTgar kepada istrinya.
Bruuuaakkkkk.
Dorongan Pak Tegar kepada Bu Siti mengenai wajan yang berisi minyak panas, dan
minyak itu mengenai hampir seluruh tubuh Ibu Siti. Melihat kejadian itu, kedua
anak Bu Siti teriak dan panik melihat ibunya terbaring kaku dilantai dapur.
“
Apa yang telah kulakukan, aku membunuh istriku sendiri.” dalam hati Pak Tegar.
Melihat istrinya yang terdaring kaku, Pak Tegar kabur meninggalkan kedua anaknya.
Dewi dan Nino tidak mengejar ayah mereka yang kabur. Mereka malah senang melihat
ayahnya itu kabur dan berharap tidak akan kembali lagi. Mereka muak melihat
tingkah ayah yang selalu menyiksa ibu. Memperlakukan ibu dengan
sewenang-wenang.
“
Tolong... tolong...” teriak Dewi dan Nino yang ketakutan.
Dengan
muka dan hati yang panik dan ketakutan. Dewi mencoba untuk mencari bantuan,
Dewi bingung mau mencari bantuan kenama, hanya Pak Ahmad dan istrinya yang paling
dekat dengannya. Akhirnya Dewi memutuskan untuk meminta bantuan Pak Ahmad.
“
Dek, kamu jaga ibu duluya. Kakak mau pergi kerumah Pak Ahmad, kakak mau minta
bantuan Pak Ahmad. Kamu jaga ibu baik-baikya,.?!” sahut Dewi kepada adiknya
sambil berlinang air mata yang membasahi pipinya. “ Cepat kak, aku gak mau
kalau ibu kenapa-napa....?!!!”.
Dewi
langsung bergegas pergi kerumah Pak Ahmad. Dengan terburu-buru tapi pasti. Dewi
hanya berharap, semoga Pak Ahmad mau menolongnya.
EmoticonEmoticon