Tok...
tok... tok... terdengar suara ketukan pintu dari dalam rumah Pak Ahmad. Selang
beberapa menit, Pak Ahmad membukakan pintu.
“
Kamu dewi, ada apa.?” sapa Pak Ahmad.
”
Anu pak, anu...” jawab Dewi dengan nafas terbata-bata.
“
Apa, jangan tergesa-gesa gitu. Cerita sama bapak, bapak siap membantu.” sera
Pak Ahmad dengan bijak.
“
Ibu pak, ibu saya jatuh dan ketumpahan minyak panas pak” jawab Dewi sambil
menghapus air mata yang keluar dari matanya.
“
Masya`allah, ma... mama...!!” teriak
Pak Ahmad.
”
Ada apa to pak, kok teriak-teriak.” sahut istri Pak Ahmad.
“
Ini, ibunya Dewi ketumpahan minyak panas, jadi bapak mau kerumah Bu Siti untuk
nolongin dia” jawab Pak Ahmad yang ikut-ikutan panik.” Masya`allah, yang bener pak. Kalau begitu ibu ikut”
Mereka
langsung pergi untuk menolong Bu Siti, ibunda Dewi. Ketika dalam perjalanan,
Pak Ahmad dan istrinya mencoba untuk bertanya bagaimana kejadiannya. Dewipun
menceritakan semua kejadian yang telah meninpanya selama ini. Dewi juga
menceritakan tentang jahatnya Pak Tegar, ayah Dewi, yang selalu menganiyaya dan
tidak pernah menyayangi keluarganya, dan ia malah asyik dengan kesenangan
sendiri bersama dengan teman-temannya.
Melihat
kejadian itu, Pak Ahmad dan istrinya merasa kasihan dengan keluarga Bu Siti. Maklumlah,
sejak pernikahan mereka sampai saat ini, Pak Ahmad dan istrinya belum juga
dikaruniai buah hati. Padahal mereka ingin mempunyai anak. Sedangkan yang
dikaruniai anak, malah diperlakukan seperti ini.
“
Sudahlah... jangan menangis...” sera istri Pak Ahmad kepada Dewi. Yang merasa
kasihan, sejak perjalanan menuju rumah Pak Ahmad sampai perjalanan pulang, Dewi
tidak bisa berhenti dari menangisnya. Air mata yang keluar dan membanjiri
pipinya ini tidak seperih apa yang dirasakan ibunya saat ini.
Akhirnya perjalanan yang lumayan
jauh dari kediaman Pak Ahmad. Tiba juga dirumah Bu Siti.
“ Masya’allah....!!!” terkejutlah pasangan suami istri ini. Yang
melihat Bu Siti terbaring lemah dilantai dapur, dan disampingnya terdapat Nino,
adik Dewi, yang menangis ketakutan.
“ Pak, sebaiknya Bu Siti sekarang
dibawa ke Rumah Sakit...?!” sahut istri Pak Ahmad.
Dewi, Nino, Pak Ahmad dan Istrinya,
lalu membawa Bu Siti ke Rumah Sakit.
Tak terasa, sudah berjam-jam Bu Siti
diperiksa, dan belum ada dokter yang memberitahukan tentang keadaannya.
Akhirnya yang dinantipun tiba,
dokter keluar dan memberitahukan tentang keadaan Bu Siti.
“ Maaf, Ibu Siti tidak bisa kami selamatkan.
Keadaan Bu Siti yang terkena minyak panas membuat dia menjadi lemah. Denyut
nadinya juga ikut-ikutan lemah. Sekali lagi anda sekeluarga yang sabar. “
“ Maksut dokter apa..?!.” tanya
Dewi.
“ Ibu Siti telah meninggal.”
“ innalilahi wa innailaihi rojiun.”
Dewi dan Nino seakan tidak percaya
dengan kata-kata dari dokter. Mereka sangat sedih, orang yang paling mereka
sayang dan selalu menjaga mereka dari tindakan biadap ayahnya, kini sudah
terbaring kaku tak berdaya. Mereka sangat terpuruk dengan keadaan yang menimpa
mereka sekarang.
“ Kak, mengapa ibu tinggaalkan kita
kak. Aku gak mau kilangan ibu..?!”
“ Udah jangan bersedih, bapak dan
ibu akan menjaga kalian. Kalian jangan menangis terus, nanti ibu kamu tidak
tenang dialam sana. Hapus air mata kalian, jika kalian memang sayang pada ibu,
doakan ibu kalian supaya tenang disana.” sera Pak Ahmad kepada Dewi dan Nino.
Jenazah Ibu Siti dibawa pulang dan
akan disemayamkan di tempat pemakaman desa. Walau pak Ahmad sudah menasehati
Dewi dan Nino, tapi mereka tetap bersedih. Air mata masih membanjiri pipi
mereka.
Mereka kini tinggal berdua saja,
tidak ada yang melindungi mereka. Orang yang paling mereka sayang sudah tiada.
Walaupun mereka masih mempunyai ayah, tapi mereka sudah menganggap, bahwa ayah
mereka sudah mati. Mereka sangat membenci ayahnya yang sudah membunuh ibu
mereka dan malah asyik kabur tanpa memikirkan keadaan kami disini. “ Buat apa
punya ayah, kalau hanya bisa membuat sakit hati.” dalam hati Nino.